Monolog
Tulisan ini menandakan bahwa orang yang terkadang mengalami gangguan tidur kepalanya akan bekerja lebih keras dan memikirkan apapun. Bahkan sesuatu yang ia tidak mengerti sekalipun. Dan tulisan ini lahir pada tengah malam dan terinspirasi oleh salah satu puisi terkenal milik penyair di negeri ini.
Di malam hari yang hampir menyatu dengan pagi seraya membetulkan ikat rambutku yang tak beraturan percis seperti keadaan ini, memaksa diulas dalam-dalam agar terjelaskan semua yang tercekat di tenggorokan dengan berjuta perasaan hampir kusam, apakah aku harus betul-betul melupakan kenangan saat menyatu dengan rerumputan bersama sebuah bayang.. aku terbaring diatas kertas-kertas berisi semua yang aku tanya, apakah aku harus betul-betul melupakan kenangan, ketika menjelanglah pagi, matahari melototiku galak, tak aku gubris, yang ada dibenakku hanya: apakah aku harus betul-betul melupakan? Aku basuh diriku sendiri selanjutnya berjalan dan entah aku akan berjalan kemana, mencari apa, seperti pelangi sial yang masih menunggu hujan ditengah kemarau. Siangnya aku berlari disebuah sungai memainkan sekecipak air yang begitu dingin.. seperti sikapmu, dibawah tebing aku ingin bersandar dan menumpahkan semua yang sekali lagi “tercekat ditenggorokan” aku bersandar seperti orang kebingungan, kesepian disisi sebuah pohon, andai ia bisa kuajak bicara atau hanya sekedar berbincang dengan secangkir teh dan semangkuk cemilan siang ini, aku yang kebingungan mencari sebuah kalimat pembebasan dari hatiku sebab aku telah berusaha menepi dari riuh dan kekejaman mereka yang ingin merenggut perasaan tanpa seujung kuku merasa malu. Seekor ikan lewat didepan mataku melewati kakiku yang putih terlalu lama terendam, seekor ikan lainnya warnanya serupa dengan corak lebih indah lewat di depan mataku melewati kakiku, melihat mereka berenang meliuk-liuk bebas berekspresi tak takut mati, ingin aku layaknya mereka berlari ditengah asap kendaraan bermotor, asap senjata api atau sekeranjang bola-bola granat dan keriuhan demonstrasi yang sedang mengeluhkan penguasa-penguasa untuk kembali dikurung sepi negeri ini, aku benci mereka semua. Hampir saat dewi malam berjuang mencapai puncak cahaya dalam malam, aku lebih senang jika mendapat dewi fortuna, yang lebih terang saat malam bahkan siang terik menjelang, sayangnya sang dewi fotuna sudah dikemas dalam bungkus sarden kalengan dan aku tak bisa menikmatinya karena ia hanya untuk orang-orang kalangan atas, sedangkan aku hanya bisa mencicipi bintang jatuh, itupun sebatas ekornya saja. Apakah ini yang tercekat ditenggorokan? Kurasa bukan. Bukan bayangan itu saja yang ingin kurenggut lalu ku injak-injak agar menyatu bersama sejumlah huruf-huruf aneh agar aku bisa katakan itulah yang menyekat tenggorokanku. Tiba ditengah malam, masih dalam keraguan bayangan seseorang berbaring diantara rerumputan dan aku hampir menyelesaikan kertas-kertas berisi; apakah aku harus betul-betul melupakan.. dan menyisihkanmu dengan dewi fotuna, atau bergabung dengan para demonstran, atau penghianat negeri. Tapi aku hanya ingin menyimpanmu didalam bintang jatuh. Dimalam hari yang hampir menyatu dengan pagi.
6 April 2014, 1.05 AM
Di malam hari yang hampir menyatu dengan pagi seraya membetulkan ikat rambutku yang tak beraturan percis seperti keadaan ini, memaksa diulas dalam-dalam agar terjelaskan semua yang tercekat di tenggorokan dengan berjuta perasaan hampir kusam, apakah aku harus betul-betul melupakan kenangan saat menyatu dengan rerumputan bersama sebuah bayang.. aku terbaring diatas kertas-kertas berisi semua yang aku tanya, apakah aku harus betul-betul melupakan kenangan, ketika menjelanglah pagi, matahari melototiku galak, tak aku gubris, yang ada dibenakku hanya: apakah aku harus betul-betul melupakan? Aku basuh diriku sendiri selanjutnya berjalan dan entah aku akan berjalan kemana, mencari apa, seperti pelangi sial yang masih menunggu hujan ditengah kemarau. Siangnya aku berlari disebuah sungai memainkan sekecipak air yang begitu dingin.. seperti sikapmu, dibawah tebing aku ingin bersandar dan menumpahkan semua yang sekali lagi “tercekat ditenggorokan” aku bersandar seperti orang kebingungan, kesepian disisi sebuah pohon, andai ia bisa kuajak bicara atau hanya sekedar berbincang dengan secangkir teh dan semangkuk cemilan siang ini, aku yang kebingungan mencari sebuah kalimat pembebasan dari hatiku sebab aku telah berusaha menepi dari riuh dan kekejaman mereka yang ingin merenggut perasaan tanpa seujung kuku merasa malu. Seekor ikan lewat didepan mataku melewati kakiku yang putih terlalu lama terendam, seekor ikan lainnya warnanya serupa dengan corak lebih indah lewat di depan mataku melewati kakiku, melihat mereka berenang meliuk-liuk bebas berekspresi tak takut mati, ingin aku layaknya mereka berlari ditengah asap kendaraan bermotor, asap senjata api atau sekeranjang bola-bola granat dan keriuhan demonstrasi yang sedang mengeluhkan penguasa-penguasa untuk kembali dikurung sepi negeri ini, aku benci mereka semua. Hampir saat dewi malam berjuang mencapai puncak cahaya dalam malam, aku lebih senang jika mendapat dewi fortuna, yang lebih terang saat malam bahkan siang terik menjelang, sayangnya sang dewi fotuna sudah dikemas dalam bungkus sarden kalengan dan aku tak bisa menikmatinya karena ia hanya untuk orang-orang kalangan atas, sedangkan aku hanya bisa mencicipi bintang jatuh, itupun sebatas ekornya saja. Apakah ini yang tercekat ditenggorokan? Kurasa bukan. Bukan bayangan itu saja yang ingin kurenggut lalu ku injak-injak agar menyatu bersama sejumlah huruf-huruf aneh agar aku bisa katakan itulah yang menyekat tenggorokanku. Tiba ditengah malam, masih dalam keraguan bayangan seseorang berbaring diantara rerumputan dan aku hampir menyelesaikan kertas-kertas berisi; apakah aku harus betul-betul melupakan.. dan menyisihkanmu dengan dewi fotuna, atau bergabung dengan para demonstran, atau penghianat negeri. Tapi aku hanya ingin menyimpanmu didalam bintang jatuh. Dimalam hari yang hampir menyatu dengan pagi.
6 April 2014, 1.05 AM
Komentar
Posting Komentar